Sudah lebih tengah malam setelah seharian tadi kami berkutat dengan segala tuntut-tuntut kerja dan hidup.
Aku terduduk di antara sofa-sofa merah muda yang sudah ditumpuk dan dijungkirbalikan. Keringatku mengalir sebesar biji-biji jagung. Nafaskupun makin pendek-pendek. Disebelahku ada mas Heru juga sudah menghembuskan nafas panjang berkali-kali, sudah lelah juga dia rupanya. Aku tidak tau kenapa ia belum pulang juga. Padahal tadi siang ia bilang ingin sekali nonton kerispatih. Aku tau benar dia sangat suka grup musik itu. Ada sebuah kenangan yang ia pernah ceritakan padaku dulu. Menyakitkan katanya. . Dihadapanku masih sibuk adegan mondar-mandir, angkat-angkat, tarik-tarik.. barang-barang berat besar dari kayu sisa-sisa kepindahan kantor kami. Ada meja, ada kursi segitiga, ada bilik-bilik coklat tinggi. Tampak Mas shugy sendirian turun tangga angkat bilik raksasa. Kuat sekali.. padahal tadi aku sudah coba angkat potongannya saja rasanya tidak karuan. Ia melirikku sesaat kemudian tertawa menggodaku seperti yang setiap hari ia lakukan disetiap sapaanku. Aku masih ingat sekali saat pertama kali jumpa ia memarahiku atas dua disket yang kusilapkan.
Ada lagi mas handoyo.. turun dengan meja diatas pundaknya, diantara jari kirinya terselip sebatang rokok menyala. Tak pernah sekalipun kutemukan keluh kesah padanya. Sosok perfecksionist yang selalu sanggup kumintai tolong perbaikan komputer murahanku. Tapi katanya kemaren ia tak akan lama lagi disini. Janji pertemuan dengan cintanya di sebrang sana. Ahh.. kapankah aku.. Aku menyeruput es teh ditanganku, sudah mencair, tidak terasa lagi rasa wangi teh dan gulanya. Kata mas wullie rasanya lebih seperti susu basi. Mas Wullie.. ia tampak diantara sudut meja kasir. Nungging menggeser-geser sofa, mencari ruang ia meletakkan kayu rongsok yang habis dipikulnya. Manusia yang satu itu tidak pernah berubah dari dulu hingga sekarang. Bahkan setelah aku pernah mengatakan padanya ungkapan-ungkapan kekecewaan atas kekesalan yang kubawa semenjak dari rumah. Ia masih mas wullie yang dulu yang selalu memegang pundakku saat menemukan aku dipojok dapur sendirian. Mas wullie yang meyembunyikanku tiap kali wartawan radar bertubuh tinggi hitam aneh itu datang mencariku untuk sekedar mengajak makan siang. Sekarang ia beralih sibuk merapihkan bilik-bilik kayu yang ditumpuk berdiri supaya tidak ambrol, Bolot datang membantunya. Bolot memang tidak mau menatapku kali ini, menegurkupun enggan. Mungkin setelah tadi siang kubentak ia karena mengancam tidak akan datang malam ini. Sebenarnya aku mengerti kondisinya yang selalu kelelahan atas pekerjaan overload setiap hari. Tapi aku tidak ingin kealpaannya menjadi provokasi yang lain. Besok sajalah aku yakinkan untuk menyapanya, sekedar bertanya tentang kabar kekasihnya yang baru saja jatuh dari motor.
Ada lagi imam.. dia lagi duduk makan mendoan di pojok ruangan. Kelelahan dan juga kelaparan tampaknya. Ia melambai padaku, melihat aku tengah memperhatikannya. Imam juga tidak berubah. Masih selalu ada saat aku membutuhkannya. Meski kemaren dia lupa hari ulang tahunku.. tidak apa-apa. Baru tahun ini dia lupa.. sedangkan setelah 6 tahun aku tidak pernah tahu kapan hari kelahirannya itu. Aku juga masih ingat blackforest besar yang dikirimkannya ke kamarku di pagi buta dulu. Ah mam.. seseorang pernah mengatakan padaku tentang rasamu dulu padaku. tapi sudah duluu.. sekali.. sekarang pacarmu pasti sudah lima. ‘Dek.. ngelamun!!.. cah wedok kok jam segini blum bobok’ Mas Shugy membuyarkan semua romantisme dikepalaku. Aku tertawa sambil merentangkan tangan kemudian berdiri…… loncat-loncat kecil. ‘ayuuuuk.. kerja lagi’ pekikku gemas
Sudah lebih tengah malam setelah seharian tadi kami berkutat dengan segala tuntut-tuntut kerja dan hidup. memang sudah sangat .. sangat lelah.. tapi kami masih belum menyerah