aku mengangkat kedua bahuku memperhatikan deretan meja-meja yang telah tersusun rapih berpasang-pasang pada komputer dan kursi pada ruangan yang masih pekat bau cat basah. Aku tidak pernah terbiasa menentukan ‘tempat’ untuk egoku sendiri. Walo sebenarnya mudah saja atas nama ke-posisi-anku. Aku membiarkan saja hingga tempat itu disajikan padaku atas kelayakanku, seharusnya. Mengertikah? Hmm.. mungkin seperti seorang anak kecil diantara deretan baris-berbaris. Ia tidak mau mengacungkan tangan untuk menjadi seorang komandan namun ia berdiri tegap, membusungkan dada, tatapan lurus, senyuman tegar.
‘Meja kamu yang abu-abu itu ya Vi. Sebelahan Handoyo’
aku mengerling pada meja hampir pojok. Lumayan meski tidak terlalu besar. Di bawah AC pula. Hari-hariku besok tanpa keringat lagi, aku kan mudah sumuk – mengingat tubuhku satu level diatas standar. Meja itu juga dekat dengan meja bapak. Setidaknya waktu-waktuku kelak dapat mengurangkan waktu-waktu lamunanku, menyedihkan penyedih. Lumayanlah.. masih ada tempat kecil juga untuk menaruh pot dan tiga tangkai mawar kesayanganku. Aku pasti bisa belajar menyukainya.
Aku mengangkat tas hitam besarku. Kuletakkan diatas meja baruku. Kujentik-jentikan jari pada dataran kayu abu-abu itu. Tentu saja tidak sekokoh mejaku yang dahulu. Laci saja tidak ada. Padahal yang dahulu lacinya lapis tiga. Ada tambahan laci jati pula. Kuantukkan pelan kakiku pada kaki-kakinya. Tak apa-apalah.. cukup saja. Saat ini pun aku bisa mulai menyukainya.
‘eh.. Vi..’
‘hmm..’
‘lebih baik meja kamu yang coklat itu aja….yang dekat pintu itu. Kamu bisa langsung keluar masuk… jadi saat besok-besok kamu lewat terima klien, pantat kamu gak nyenggol sana-sini’
tiba-tiba tawa memecah malam pada wajah-wajah yang telah kelelahan, menggodaku. Mukaku memanas.. pasti wajahku memerah…